ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT, TOKOH, POLA PEMIKIRAN DAN
AJARAN AL-GHAZALI DAN IBN RUSYD SERTA ANALISA POLEMIK KEDUANYA
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sejarah intelektual Islam kedua tokoh ini (Ibn Rusyd
dan Al-Gazali) saling bersinggungan bahkan bertentangan mengenai pemikiraan.
Pengkafiran yang terjadi di satu pihak, membuat perhatian penuh bagi para
pengikutnya. Jawaban-jawaban pedas dilontarkan satu sama lain.
Al-Ghazali di pihak teologi mengkritik kerancuan para filosof bahkan pernyataan-pernyataan filosof dianggap mengeruhkan agama dan menjadikan seseorang menjadi kafir dalam pemikirannya. Ibn Rusyd dipihak yang dkritik menulis buku yang sangat terkenal atas sanggahan dan pengklaiman Ghazali dengan menulis buku berjudul kritik aras kritik. Penulisan ini bermaskud untuk mencoba menyibak kembali kedua tokoh tersebut dengan metodologi komparatif. Artinya kami mencoba mencari titik singgung persamaan pemikiran kedua tokoh tersebut, yang seolah-olah dalam rentang waktu yang panjang sekali dalam pemikiran Islam menjadi hal yang sangat berbeda dan bertentangan. Akibatnya asumsi-asumsi yang mengatakan bahwa mempelajari filsafat adalah kafir, sulit, membingungkan bahkan menyulitkan dapat dijawab dengan sangat kritis dan lugas, tidak berpihak dan menganggap paling benar.
Al-Ghazali di pihak teologi mengkritik kerancuan para filosof bahkan pernyataan-pernyataan filosof dianggap mengeruhkan agama dan menjadikan seseorang menjadi kafir dalam pemikirannya. Ibn Rusyd dipihak yang dkritik menulis buku yang sangat terkenal atas sanggahan dan pengklaiman Ghazali dengan menulis buku berjudul kritik aras kritik. Penulisan ini bermaskud untuk mencoba menyibak kembali kedua tokoh tersebut dengan metodologi komparatif. Artinya kami mencoba mencari titik singgung persamaan pemikiran kedua tokoh tersebut, yang seolah-olah dalam rentang waktu yang panjang sekali dalam pemikiran Islam menjadi hal yang sangat berbeda dan bertentangan. Akibatnya asumsi-asumsi yang mengatakan bahwa mempelajari filsafat adalah kafir, sulit, membingungkan bahkan menyulitkan dapat dijawab dengan sangat kritis dan lugas, tidak berpihak dan menganggap paling benar.
Kedua tokoh ini mengajarkan kita bagaimana membangun wahana
keislaman dengan bersikap kritis terhadap sebuah pemikiran. Namun sayangnya
sikap kritis kedua tokoh ini dianggap oleh orang-orang setelahnya bukan hal
yang penting dan disalah pahami.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Al – Ghazali
Al-Ghazali, nama lengkapnya adalah Abu hamid Muhammad bin
Muhammad Al-Ghazali di lahirkan di Tusia di daerah Khurasan (Persia), pada
pertengahan abad ke-5 Hijriyah tepatnya pada tahun 450 Hijriyah bertepatan
dengan 1059 M. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa ia dilahirkan di
Ghazalah, yang terletak di ujung Thus, sehingga dapat dikatakan ia memiliki
darah Persia.[1]
Sementara tentang sejarah ibunya tidak banyak orang yang
mengetahuinya, selain bahwa dia hidup hingga menyaksikan kehebatan anaknya di
bidang ilmu pengetahuan dan melihat popularitasnya serta gelar tertinggi di
bidang keilmuan.
Ayah Al-Ghazali adalah seorang tasawuf yang sholeh dan
meninggal dunia ketika Al-Ghazali masih kecil. Ia seorang laki-laki miskin yang
bekerja sebagai tukang tenun sutera. Sang ayah ingin sekali Al-Ghazali tumbuh
di lingkungan yang Islami. Karena itu sebelum wafatnya ia menitipkan Al-Ghazali
dan adiknya kepada seorang temannya yang sufi dan menyerahkan biaya hidup untuk
mereka berdua. Sang sufi adalah seorang yang miskini. Karena itu ketika biaya
hidupnya habis, maka ia menyerahkan keduanya ke salah satu sekolah yang
didirikan oleh Nizham al-Mulk yang dapat menyediakan asrama dan biaya hidup
bagi pelajar.[2]
Al-Ghazali memulai pendidikannya di
wilayah kelahirannya Tus dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan.
Selanjutnya ia pergi ke Nisyafur dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota
tersebut terkenal dengan pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam. Di kota
Nisyafur inilah Al-Ghazali berguru kepada Imam al-Haramain Abi al-Ma’ali
al-Juwainy, seorang ulama yang bermazhab Syafi’I yang pada saat itu menjadi
guru besar di Nisyafur. [4] Diantara mata pelajaran yang dipelajari Al-Ghazali
di kota tersebut adalah teologi, hukum Islam, falsafat, logika, sufisme dan
ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya inilah yang kemudian mempengaruhi
sikap dan pandangan ilmiahnya dikemudian hari.
Setelah itu Al-Ghazali berkunjung
kepada Nidzam al-Mulk di kota Mu’askar, dan darinya ia mendapat kehormatan dan
penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu enam tahun lamanya.
Pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamah Baghdad,
dan pekerjaannya itu dilaksanakan dengan sangat berhasil sehingga banyak para
penuntut ilmu dan pengagumnya berguru kepadanya.
Pada tahun 487 Hijriyah, khalifah
al-Mustadhir meminta Ghazali untuk menanggapi pemikiran kaum Islamiyah, yang
terkenal dengan al-Bathiniyah atau al-Ta’limiyah. Pada saat itu mereka
merupakan kekuatan yang luar bisaa. Dan Al-Ghazali sampai menulis tiga buku
untuk menanggapi pemikiran mereka.[3]
Setelah itu, Al-Ghazali mengalami
krisis psikologi yang serius dan mematikan seluruh kegiatannya serta membuatnya
meninggalkan kegiatan mengajarnya. Dalam bukunya al-Munqidz Min ad-Dhalal,
Al-Ghazali menyatakan bahwa krisis psikologilah yang membuatnya meninggalkan
kedudukannya di madrasah Nizhamiyah. Pekerjaan itu ditinggalkannya sekitar
tahun 484 H, Untuk menuju Damsyik dan dikota ini ia merenung, membaca dan
menulis selama kurang lebih 2 tahun, dengan tasawuf sebagai jalan hidupnya.
Kemudian ia pindah ke Palestina dan
disinipun ia tetap merenung, membaca dan menulis dengan mengambil tempat di
masjid Baitul Maqdis. Sesudah itu bergeraklah hatinya untuk menjalankan ibadah
haji, dan setelah selesai pulang ke negeri kelahirannya sendiri yaitu kota Tus
dan disana ia tetap seperti bisaanya, berkhalwat dan beribadah.
Karena desakan penguasa pada
masanya, yaitu Muhammad, Al-Ghazali mau kembali mengajar di sekolah Nazamiyyah
di Naisabur tahun 499 H. akan tetapi pekerjaan ini berlangsung 2 tahun, untuk
akhirnya kembali ke kota Tus lagi, dimana ia kemudian mendirikan sebuah sekolah
untuk para fuqaha dan sebuah biara (Khangak) untuk para mutasawwifin. Di kota
itu pula ia meninggal dunia pada tahun 505 H/1111M, dalam usia 54 tahun.[4]
- Filsafat, Pola Pemikiran Dan Ajarannya Imam Al-Ghozali
Filsafat al-Ghazali dalam menolak
pendapat filosof tentang bebarapa masalah. Pertama; masalah qadim-nya alam,
bahwa tercipta dengan tidak bermula, tidak pernah tidak ada di masa lampau.
Bagi al-Ghazali yang qadim hanyalah Tuhan. Selain Tuhan haruslah hadits (baru).
Karena bila ada yang qadim selain Tuhan, dapat menimbulkan paham:
1. Banyaknya yang qadim atau
banyaknya Tuhan; ini syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan;
atau
2. Ateisme; alam yang qadim tidak
perlu kepada pencipta.
Memang, antara kaum teolog dan
filosof terdapat perbedaan tentang arti al-ihdats dan qadim. Bagi kaum teolog
al-ihdats mengandung arti menciptakan dari “tiada” (creatio ex nihilo), sedang
bagi kaum filosof berarti menciptakan dari “ada”. Kata Ibnu Rusyd, ‘adam
(tiada) tidak akan bisa berubah menjadi wujud (ada). Yang terjadi adalah
“wujud’ berubah menjadi “wujud” dalam bentuk lain. Oleh karena itu, materi
asal, yang dari padanya alam disusun, mesti qadim. Dan materi.[5]
pertama yang qadim ini berasal dari
Tuhan melalui al-faidh (pancaran). Tetapi menurut al-Ghazali, penciptaan dari
tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Oleh sebeb itu, alam pasti “baru”
(hadits) dan diciptakan dari “tiada”. (al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, hal. 9
dan seterusnya). Dalam pemikiran al-Ghazali, sewaktu Tuhan menciptakan alam,
yang ada hanyalah Tuhan. Disinilah Sulaiman Dunianya mencacat al-Ghazali
sebagai baina al-falasifah wa al-mutakallimin, karena secara substansial
al-Ghazali berfikir sebagai teolog, tetapi secara instrumental berfikir sebagai
filosof. Tetapi, karena itu juga, di lain pihak justru al-Ghazali dinilai
“kacau” cara berfikirnya oleh Ibn Rusyd (Tahafut al-Tahafut). Apalagi tampak
jelas kekacauan al-Ghazali itu, kata Ibnu Rusyd, ketika berbicara tentang
kebangkitan jasmani yang terlihat paradoksal antara al-Ghazali sebagai teolog
dan filosof dan sebagai sufi.[6]
Kedua, mengenai Tuhan tidak
mengetahui juz`iyyat. Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa pertentangan antara
al-Ghazali dan para filosof tentang hal ini timbul dari penyamaan pengetahuan
Tuhan dengan pengetahuan manusia. Jelas bahwa kekhususan (juz`iyyat) diketahui
manusia melalui panca indera, sedangkan keumuman (kulliyah) melalui akal. (Baca
Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, ed. Sulaiman Dunya, Cairo, Dar al-Maarif, 1964,
hal. 711). Penjelasan Ibnu Rusyd selanjutnya: Tuhan bersifat immateri yang
karenanya tidak terdapat panca indera bagi Tuhan untuk pengetahuan juz`iyyat.
Selanjutnya, pengetahuan Tuhan bersifat qadim, sedang pengetahuan manusia
bersifat baru. Pengetahuan Tuhan adalah sebab, sedang pengetahuan manusia
tentang kekhususan adalah akibat. Kaum filosof, kata Ibnu Rusyd, tidak
mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan tentang alam bersifat juz`i atau pun kulli.
(Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, hal. 702-703). Begitulah tanggapan Ibnu Rusyd
untuk menanggapi pendapat al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah itu.[7]
Ketiga, tentang kebangkitan jasmani.
Kritik al-Ghazali bahwa para filosof tidak percaya adanya kebangkitan jasmani,
menurut Ibnu Rusyd salah sasaran. Yang benar, kata Ibnu Rusyd, bahwa para
filosof tidak menyebut-nyebut hal itu. Ada tulisan mereka yang menjelaskan
tidak adanya kebangkitan jasmani dan ada pula yang sebaliknya. (Ibnu Rusyd,
Tahafut al-Tahafut, hal. 873-874).
Di pihak lain, Ibnu Rusyd menuduh
bahwa apa yang ditulis al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah bertentangan dengan
apa yang ditulisnya mengenai tasawwuf. Dalam buku pertama (hal. 28, dst) semua
orang Islam menyakini kebangkitan jasmani. Sedang dalam buku kedua ia
mengatakan, pendapat kaum sufi yang ada nanti ialah kebangkitan rohani dan
bukan kebangkitan jasmani tidak dapat dikafirkan (Baca Ibnu Rusyd, Fash
al-Maqal, hal. 16-17). Padahal al-Ghazali mendasarkan pengkafirannya kepada
ijma’ ulama.
Tiga pemikiran itulah yang menjadi
bahasan utama al-Ghazali dalam kitabnya Tahfut al-Falasifah, dan selanjutnya ia
mengkafirkan para filosof lantaran pendapat mereka tentang tiga hal tersebut
berbeda dengan pemikirannya. Tindakan pengkafiran inilah yang dianggap
mempengaruhi dan membuat orang Islam enggan bahkan takut mempelajari filsafat,
dus menjadi biang kemunduran pemikiran di kalangan umat Islam.
AjaranTasawuf-Al-Ghazali di dalam
tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah
Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya
adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam
karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal,
Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai negatif
terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan
wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan
diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya :
a. Pandangan Al-Ghazali tentang
Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah
mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang
segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan
roh. Pada saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi
cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan
mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang
sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat
ma’rifat.
b.
PandanganAl-Ghazalitentang-As-As’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan
kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah) di dalam
kitab Kimiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu
sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan
ciptaannya; nikmatnya mata terletak pada ketika melihat gambar yang bagus dan
indah, nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara merdu.
- Biografi Ibnu Rusyd
Abul Wali Muhammad bin Ahmad bin
Rusyd lahir di Cordova tahun 520 H. Ia berasal dari keluarga besar yang terkenal
dengan keutamaannya dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia, Spanyol.
Ayahnya adalah seorang hakim dan neneknya yang terkenal dengan sebutan Ibnu
Rusyd -Nenek- (ad-Djadd) adalah kepala hakim di Cordova.
Pada mulanya Ibnu Rusyd mendapat
kedudukan yang baik dari Khalifah Abu Yusuf al-Mansur (masa kekuasaannya
1184-1194 M), sehingga pada waktu itu Ibnu Rusyd menjadi raja semua pikiran,
tidak ada pendapat kecuali pendapatnya, dan tidak ada kata-kata kecuali
kata-katanya. Akan tetapi, keadaan tersebut segera berubah karena ia di-persona
non grata-kan oleh al-Manshur dan dikurung di suatu kampung Yahudi bersama
Alisanah sebagai akibat fitnahan dan tuduhan telah keluar dari Islam yang
dilancarkan oleh golongan penentang filsafat, yaitu para fuqaha masanya.
Setelah beberapa orang terkemuka
dapat meyakinkan al-Manshur tentang kebersihan diri Ibnu Rusyd dari fitnahan
dan tuduhan tersebut, baru ia dibebaskan. Akan tetapi, tidak lama kemudian
fitnahan dan tuduhan dilemparkan lagi pada dirinya, dan termakan pula. Sebagai
akibatnya, kali ini ia diasingkan ke Negeri Maghribi (Maroko), buku-buku
karangannya dibakar dan ilmu filsafat tidak boleh lagi dipelajari. Sejak saat
itu murid-muridnya bubar dan tidak berani lagi menyebut-nyebut namanya.
Ibnu Rusyd (1126-1198) lahir di
Cordova lidah barat menyebutnya Averroes yang nama lengkapnya adalah Abdul
Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd adalah seorang
ahli hukum, ilmu hisab (arithmatic), kedokteran, dan ahli filsafat terbesar
dalam sejarah Islam dimana ia sempat berguru kepada Ibnu Zuhr, Ibn Thufail, dan
Abu Ja’far Harun dari Truxillo. Pada tahun 1169 Ibn Rusyd dilantik sebagai
hakim di Sevilla, pada tahun 1171 dilantik menjadi hakim di Cordova. Karena
kepiawaiannya dalam bidang kedokteran Ibnu Rusyd diangkat menjadi dokter istana
tahun 1182.
Karya besar yang di tulis oleh Ibnu
Rusyd adalah Kitab Kuliyah fith-Thibb (Encyclopaedia of Medicine) yang terdiri
dari 16 jilid, yang pernah di terjemahkan kedalam bahasa Latin pada tahun 1255
oleh seorang Yahudi bernama Bonacosa, kemudian buku ini diterjemahkan kedalam
bahasa Inggris dengan nama “General Rules of Medicine” sebuah buku wajib di
universitas-universitas di Eropa. Karya lainnya Mabadil Falsafah (pengantar
ilmu falsafah), Taslul, Kasyful Adillah, Tahafatul Tahafut, Bidayah al-Mujtahid
wa Nihayah al-Muqtashid, Tafsir Urjuza (menguraikan tentang pengobatan dan ilmu
kalam), sedangkan dalam bidang musik Ibnu Rusyd telah menulis buku yang
berjudul “De Anima Aristotles” (Commentary on the Aristotles De Animo). Ibnu
Rusyd telah berhasil menterjemahan buku-buku karya Aristoteles (384-322 SM)
sehingga beliau dijuluki sebagai asy-Syarih (comentator) berkat Ibnu Rusyd-lah
karya-karya Aristoteles dunia dapat menikmatinya. Selain itu beliaupun
mengomentari buku-buku Plato (429-347 SM), Nicolaus, Al-Farabi (874-950), dan
Ibnu Sina (980-1037).
Ibnu Rusyd seorang yang cerdas dan
berfikiran kedepan sempat dituduh sebagai orang Yahudi karena
pemikiran-pemikirannya sehingga beliau di asingkan ke Lucena dan sebagian karyanya
dimusnahkan. Doktrin Averoism mampu pengaruhi Yahudi dan Kristen, baik barat
maupun timur, seperti halnya pengaruhi Maimonides, Voltiare dan Jean Jaques
Rousseau, maka boleh dikatakan bahwa Eropah seharusnya berhutang budi pada Ibnu
Rusyd.
- Filsafat, Pola Pemikiran dan Ajarannya Ibnu Rusyd
- Agama dan Filsafat
Masalah agama dan
falsafah atau wahyu dan akal adalah bukan hal yang baru dalam pemikiran islam,
hasil pemikiran pemikiran islam tentang hal ini tidak diterima begitu saja oleh
sebagian sarjana dan ulama islam. Telah tersebut diatas tentang reaksi
Al-Ghazali terhadap pemikiran mereka seraya menyatakan jenis-jenis kekeliruan
yang diantaranya dapat digolongkan sebagai pemikiran sesat dan kufur.
Dalam ajaran-ajaran Ibn
Rusyd terhadap reaksi dan sanggahan tersebut Ibnu Rusyd tampil membela
keabsahan pemikiran yang membenarkan kesesuain ajaran agama dengan pemikiran
falsafah. Ia menjawab semua keberatan imam Ghazali dengan argumen-argumen yang
tidak kalah dari al-Ghazali sebelumya.
Menurut Ibnu Rusyd,
Syara’ tidak bertentangan bertentangan dengan filsafat, karena fisafat itu pada
hakikatnya tidak lebih dari bernalar tentang alam empiris ini sebagai dalil
adanya pencipta. Dalam hal ini syara’pun telah mewajibkan orang untuk
mempergunakan akalnya, seperti yang jelas dalam irman Allah : “Apakah mereka
tidak memikirkan (bernalar)tentang kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu
yang diciptakan Allah.” (Al-Araf: 185) dan firman Allah suiarah Al-Hasyr: 2
yang artinya: “Hendaklah kamu mengambil Itibar (ibarat) wahai orang-orang
yang berakal”. Bernalar dan ber’itibar hanya dapat dimungkinkan dengan
menggunakan kias akali, karena yang dimaksud dengan I’tibar itui tiadak lain
dari mengambil sesuatu yang belum diktahui dari apa yang belum diketahui.
Qyas akali merupakan
suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan. Setiap pemikir wajib mempelajari
kaidah-kaidah kias dn dalil serta mempelajari ilmu logika dan falsafah.
Bernalar dengan kaidah yang benar akan membawa kepada kebenaran yang diajarkan
agama, karena kebenaran tidak saling bertentangan, tapi saling sesuai dan
menunjang.
Seperangkat ajaran yang
disebut dalam al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sesuatu yang pada lahirnya
berbeda dengan filsafat, sehingga difahami bahwa filsafat itu bertentangan
dengan agama. Dalam hal ini Ibnu Rusyd menjawab dengan konsep takwil yang lazim
digunakan dalam masalah-masalah seperti ini.
Dalam Al-Qur’an ada
ayat-ayat yang harus difahami menurut lahirnya, tidak boleh dita’wilkan dan ada
juga yang harus dita’wilakan dari pengertian lahiriah.
Adapun jika keterangan
lahiriahnya sesuai dengan keterangan filsafat, ia wajib diterima menurut adanya.
Dan jika tidak, ia harus dita’wilkan. Namun ta’wil itu sendiri tidak sembarang
orang dapat melakukannya atau disampaikan kepada siapa saja. Yang dapat
melakukan ta’wil itu adalah para filosof atau sebagian mereka, yakni
orang-orang yang telah mantap dalam memahami ilmu pengetahuan. Adapun
penyampaian ta’wil itu dibatasi pada orang-orang yang sudah yakin, tidak kepada
selain mereka yang ampang menjadi kufur.
Agama islam kata Ibn
Rusyd tidak mengandung dalam ajarannya hal-hal yang bersifat rahasia, seperti
ajaran trinitas dalam agama Kristen. Semua ajarannya dapat dipahami akal karena
akal dapat mengetahui segala yang ada. Dari itu, iman dan pengetahuan akali
merupakan kesatuan yang tidak bertentangan, karena kebenaran itu, pada
hakikatnya adalah satu.
Akan tetapi, dalam agama
ada ajaran tentang hal-hal yang ghaib seperti malikat, kebangkitan jasad,
sifat-sifat surga dan neraka dan lain-lain sebagainya yang tidak dapat
diapahami akal, maka hal-hal yang seperti itu kata Ibn Rusyd merupakan lambing
atau simbolm bagi hakikat akali. Dalam hal ini, ia menyetujui pendapat imam
al-Ghazali yang mengatakan, wajib kembali kepada petunjuk-petunjuk agama dalam
hal-hal yang tidak mampu akal memahaminya.
- Metafisika
a. Dalil wujud Allah
Dalam membuktikan adanya
Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang pernah dkemukakan oleh beberapa
golongan sebelumnya karena tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh
Syara’, baik dalam berbagai ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd mengemukakan tiga
dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam berbagai ayatnya, dank
arena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai, tidak
saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang –orang khusus yang terpelajar.
b. Dalil ‘inayah (pemeliharan)
Dalil ini berpijak pada
tujuan segala sesuatu dalam kaitan dengan manusi. Artinya segala yang ada ini
dijadikan untuk tujuan kelangsungan manusia. Pertama segala yang ada ini sesuai
dengan wujud manusia. Dan kedua, kesesuaian ini bukanlah terjadi secara
kebetulan, tetapi memang sengaj diciptakan demikian oleh sang pencipta
bijaksana.
c. Dalil Ikhtira’ (penciptaan)
Dalil ini didasarkan
pada fenomena ciptaan segala makhluk ini, seperti ciptaan pada kehidupan benda
mati dan berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Menurut Ibn
Rusyd, kita mengamati benda mati lalu terjadi kehidupan padanya,sehingga yakin
adanya Allah yang menciptakannya. Demikian juga berbagai bintang dan falak di
angkasa tundujk seluruhnya kepada ketentuannya. Karena itu siapa saja yang ingin
mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib mengetahui hakikat segala
sesuatu di alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua realitas
ini.
d. Dalil Gerak.
Dalil ini berasal dari
Aristoteles dan Ibn Rusyd memandangnya sebagi dalil yang meyakinkan tentang
adanya Allah seperti yang digunakan oleh Aristoteles sebelumnya. Dalil ini
menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam suatu keadaan, tetapi selalu
berubah-ubah. Dan semua jenis gerak berakhir pada gerak pada ruang, dan gerak
pada ruang berakhir pada yang bergerak pad dzatnya dengan sebab penggerak
pertama yang tidak bergerak sama sekali, baik pada dzatnya maupun pada
sifatnya.
Akan tetapi, Ibn Rusyd
juga berakhir pada kesimpulan yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa gerak itu
qadim.
e. Sifat-sifat Allah.
Adapun pemikiran Ibn
Rusyd tentang sifat-sifat Allah berpijak pada perbedaan alam gaib dan alam
realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd mengatakan, orang harus
menggunakan dua cara: tasybih dan tanzih (penyamaan dan pengkudusan). Berpijak
pada dasar keharusan pembedaan Allah dengan manusia, maka tidak logis
memperbandingkan dua jenis ilmu itu.
- Fisika
a. Materi dan forma
Seperti dalam halnya
metafisika, ibnu rusyd juga di juga di pengaruhi oleh Aristoteles dalam fisika.
Dalam reori Aristoteles, ilmu fisika membahas yang ada (maujud) yang mengalami
perubahan seperti gerak dan diam. Dari dasarnya itu, ilmu fisika adalah materi
dan forma.
Menurut Ibn Rusyd, bahwa
segala sesuatu yang berada di bawah alam falk terdiri atas materi dan forma.
Materi adalah sesuatu yang darinya ia ada, sedangkan forma adalah sesuatu yang
dengannya ia menjadi ada setelah tidak ada.
b. Sifat-sifat jisim.
Adapun sifat-sifat jisim
ada empat macam, yaitu:
Ø Gerak
Ø Diam
Ø Zaman
Ø Ruang
c. Bangunan alam.
Para filosof klasik
mengatakan, bahwa bentuk bundar adalah yang paling sempurna, sehingga gerak
melingkar merupakan gerak yang paling Afdol. Gerak inilah yang kekal lagi
azali. Dengan sebab gerak ini, maka jisim-jisim samawi memiliki bentuk bundar.
Karena jisim-jisim ini bergerak melingkar, maka alam semesta ini merupakan
sesuatu planit yang bergerak melingkar.Dan planit ini hanya satu saja, sehingga
tidak ada kekosongan. Demikianlah alam falak itu saling mengisi.
Jadi alam ini terdiri
dari jisim-jisim samawi yang tunggal dan benda-benda bumi yang terdiri dari
percampuran emoat anasir melalui falak-falak. Dari percampuran ini timbulah
benda-benda padat, tumbuhan hewan, dan akhirnya manusia.
- Manusia
Dalam masalah manusia,
Ibn Rusyd juga dipengaruhi oleh teori Aristoteles. Sebagi bagian dari alam,
manusia terdiri dari dua unsure materi dan forma.. jasad adalah materi dan jiwa
adalah forma. Seperti halnya Aristoteles, Ibnu Rusyd membuat definisi jiwa
sebagai “kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis.” Jiwa disebut sebagai
kesempurnaan awal untuk membedakan dengan kesempurnaan lain yangmerupakan
pelengkap darinya, seperti yang terdapat pada berbagai perbuatan. Sedangkan
disebut organis untuk menunjukan kepada jisim yang terdiri dari
anggota-anggota. Untuk menjelaskan kesempurnaan jiwa tersebut, Ibnu Rusyd
mengkaji jenis-jenis jiwa yang menurutnya ada lima:
· Jiwa Nabati
· Jiwa perasa
· Jiwa khayal
· Jiwa berfikir
· Jiwa kecendrungan
- Kenabian dan Mu’jizat
Allah menyampaikan wahyu
kepada umat manusia melalui rasulnya. Dan sebagai bukti bahwa orang itu Rasul
Allah, ia harus membawa tanda yang berasal darinya, dan tanda ini disebut
mukjizat. Pada seorang rasul, mukzizat itu meliputi dua hal yang berhubungan
dengan ilmu dan yang berhubungan dengan amal. Dalam hal yang pertama, rasul itu
memberitahukan jenis-jenis ilmu dan berbagai amal perbuatan yang tidak lazim
diketahui oleh manusia. Suatu hal yang diluar kebiasaan pengetahuan manusia,
sehingga ia tidak dapat mengetahuinya adalah bukti bahwa orang yang membawanya
adalah rasul yang menerima wahyu dari Allah, bukan dari dirinya.
Ringkasnya Ibnu Rusyd
membedakan dua jenis mukjizat: mukjizat ekstern yang tidak sejalan dengan sifat
dan tugas kerasulan, seperti menyembuhkan penyakit, membelah bulan dan
sebagainya. Dan mukjizat intern yang sejalan dangan sifat dan tugas kerasulan
yang membawa syariat untuk kebahagiaan umat manuisia. Mukjizat yangpertama yang
berfungsi sebagai penguat sebagai kerasulan. Sedangkan yang kedua sebagai bukti
yang kuat tentang kerasulan yang hakiki dan merupakan jalan keimanan bagi para
ulama dan orang awamsesuai dengan kesanggupan akal masing-masing.
- Politik dan Akhlak
Seperti yang telah
disebut oleh plato, Ibnu Rusyd mengatkan, sebagai makhluk social, manusia perlu
kepada pemerintah yang didasarkan kepada kerakyatan. Sedangkan kepala
pemerintah dipegang oleh orang yang telah menghabiskan sebagian umurnya dalam
dunia filsafat, dimana ia telah mencapai tingkat tinggi . pemerintahan islam
pada awalnya menurut Ibnu rusyd adalah sangat sesuai dengan teorinya tentang
revublik utama, sehingga ia mengecam khalifah muawwiyah yang mengalihkan
pemerintahan menjadi otoriter.[8]
Dalam pelaksanaan
kekuasaan hendaknya selalu berpijak pada keadilan yang merupakan sendinya yang
esensial. Hal ini karena adil itu adalah produk ma;rifat, sedangkan kezaliman
adalah produk kejahilan.
Ibnu Rusyd mengatakan
bahwa dalam Negara utama orang tidak memerlukan lagi kepada hakim dan dokter
karena segala sesuatu berjalan secara seimbang, tidak lebih dan tidak
berrkurang.hal ini karena keutamaan itu sendiri mengandung dalam dirinya
keharusan menghormati hak orang lain dan melakukan kewajiban.
Khusus tentang wanita ,
Ibnu rusyd sangat membela kedudukannya yang sangat penting dalam Negara. Pada
hakikatnya, anita tidak berbeda dengan pria pada watak dan daya kekuatan. Dan
jikapun ada, maka itu hanya ada pada kuantitas daya dan pada beberapa bidang
saja. Dan jika dalam kerja, ia dibawa tingkat pria, tetapi iamelebihinya dalam
bidang seni, seperti music. Menurut Ibnu Rusyd, masyarakat islam tidak akan
maju, selama tidak membebaskan wanita dari berbagai ikatan dan kekangan yang
membelenggu kebebasannya.
E.
Polemik dan Analisa Antara Al-Ghazali dan
Ibn Rusyd Dalam Perbedaan Aliran dan Pemikiran Filsafat dan Implikasinya Bagi
Hukum Islam Modern.
Alam pikir al-Ghazali Polemik ini
dimulai dari karya Imam al-Ghazali yang berjudul Thafut al-Falasifah yang
antara lain memuat berbagai dalil dan argument yang menyatakan bahwa teori dan
pemikiran para filosof Islam, terutama Ibn Sina, mengenai soal ketuhanan dan
hal-hal yang metafisis tidak memuaskan, malah ada diantaranya yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Hal yang bertentangan dengan dasar agama Islam ada tiga,
sehingga ia menuduh Ibn Sina sebagai orang kafir . Yaitu : 1. Alam tak bermula,
2. Tuhan tidak mengetahui perincian di alam dan 3. Pembangkitan jasmani tidak
ada. Tentang alam Aristoteles juga mengatakan bahwa alam ini qadim dalam arti
tidak ada awalnya. Pendapat ini juga dianut oleh para filosof ternama di
kalangan pemikir Islam, seperti al-Farabi dan Ibn Sina sebagaimana telah
disebutkan diatas. Hal ini menurut al-Ghazali bertentangan dengan ajaran agama
yang dengan tegas mengatakan bahwa alam ini baru, dijadikan oleh Allah dari tidak
ada serta dalam zaman tertentu . Dalam al-Qur’an dengan jelas disebutkan bahwa
Tuhan adalah Pencipta dari segala-gala sesuatu. Dan menurut al-Ghazali
selanjutnya, tidak ada seorangpun dari orang Islam yang menganut paham bahwa
alam tidak bermula.[9]
Alam pikir Ibn Rusyd Dari pendapat
diatas Ibn Rusyd dalam kedudukannya sebagai filosof yang bertujuan mencari
kebenaran, lewat penafsirannya terhadap al-Qur’an secara rasional telah
menawarkan keselarasan antara agama dan filsafat serta tentang ketidakbermulaannya
alam itu. Ibn Rusyd menjelaskan, bahwa pendapat kaum teolog tentang
dijadikannya alam dari tiada (creation ex-nihilo) itu tidak berdasar pada
argument syariat yang kuat, karena tidak ada ayat-ayat yang mengatakan bahwa
Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, lalu Ia menjadikan alam. Pendapat bahwa
pada mulanya yang ada hanya wujud Tuhan, menurut Ibn Rusyd, hanyalah merupakan
interprestasi kaum teolog semata, karena ayat-ayat al-Qur’an mengatakan bahwa
alam ini dijadikan bukan dari tiada, tapi dari sesuatu yang ada. Dari ayat 7
surat Hud yang artinya: dan Ia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
hari dan takhta-Nya (pada waktu itu) berada di atas air, dapat ditarik
kesimpulan bahwa sebelum adanya wujud langit dan bumi telah ada wujud yang
lain, yaitu air yang diatasnya terdapat takhta kekuasaan Tuhan. Tegasnya
sebelum langit dan bumi diciptakan Tuhan telah ada air dan takhta. Dan dari
ayat 11 surat Fushilat yang artinya: kemudian Ia-pun naik ke langit sewaktu ia
masih merupakan uap. Dapat dipahami bahwa sebelum ala mini diciptakan telah ada
benda-benda lain yaitu air dan uap. Menurut Ibn Rusyd, benda-benda itulah yang
merupakan cikal bakal terjadinya alam, jadi alam dalam unsurnya adalah kekal
dari sejak zaman lampau atau qadim.
Antara Al Ghazali dengan Ibnu Rusyd
mencerminkan munculnya pemikiran filosofis yang cukup serius dan berpengaruh
luar biasa terhadap pemahaman manusia mengenai pandangannya terhadap konsep
ketuhanan dan alam semesta, yang sebenarnya jika dikaji lebih kritis, juga
merupakan ‘pukulan telak’ bagi seluruh umat Islam. Umat Islam dituntut memahami
dan meningkatkan kemurnian keimanan, dalam usaha memecahkan banyaknya misteri
kehidupan yang tidak dijelaskan secara gamblang dalam teks Al Qur’an ataupun Al
Hadits.
Al Ghazali dan Ibnu Rusyd adalah
para pemikir cerdas yang bersikap kritis dalam mencari hakikat hidup dan
pengertian-pengertian yang mungkin dapat dipahami oleh akal budi manusia. Hanya
saja memang, diantara keduanya terdapat kontroversi pemahaman. Perbedaan itu
adalah berupa cara mereka memahami hal-hal metafisik untuk mencapai
pengertian-pengertian yang bersifat adikodrati. Maksud Al Ghazali mengkritik
pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya adalah demi mempertahankan kemurnian agama
Islam. Ia mencoba menunjukkan pada interpretasi teks dengan pertimbangan yang
lebih gamblang. Artinya, segala informasi yang terkandung dalam teks Al Qur’an
itu sudah sempurna, sudah bisa dipahami sebagai petunjuk hidup, dengan syarat
mutlak harus memiliki keimanan yang paripurna.
Berbeda dengan Al ghazali, Ibnu
Rusyd bermaksud mengadakan kompromi antara filsafat dan agama yang sepintas
terlihat saling berlawanan satu sama lain. Ibnu Rusyd berusaha menjelaskan
teori metafisika spekulatif para filsuf sebelumnya, juga menambahkan argument
pribadinya, dalam menginterpretasi firman Tuhan. Ia mencoba menjelaskan
kemungkinan-kemungkinan tentang sifat-sifat Tuhan dan alam ciptaanya
menggunakan akal.
Biarpun diantara keduanya terdapat
pertentangan dalam hal yang paling mendasar mengenai problem ketuhanan dan alam
semesta, namun keduanya sama-sama memberikan kontribusi dan pelajaran berharga
yang mampu diambil hikmahnya oleh manusia, baik sebagai muslim maupun bukan.
Sintesa dari perdebatan mereka mengajarkan pada pentingnya menggunakan akal yang
disertai keimanan yang kuat, dalam memahami masalah-masalah rumit yang
metafisis spekulatif sepertihalnya problem ketuhanan dan alam semesta serta
hokum islam modern.
KESIMPULAN
Antara Al Ghazali dengan Ibnu Rusyd
mencerminkan munculnya pemikiran filosofis yang cukup serius dan berpengaruh
luar biasa terhadap pemahaman manusia mengenai pandangannya terhadap konsep
ketuhanan dan alam semesta, yang sebenarnya jika dikaji lebih kritis, juga
merupakan ‘pukulan telak’ bagi seluruh umat Islam. Umat Islam dituntut memahami
dan meningkatkan kemurnian keimanan, dalam usaha memecahkan banyaknya misteri
kehidupan yang tidak dijelaskan secara gamblang dalam teks Al Qur’an ataupun Al
Hadits.
Al Ghazali dan Ibnu Rusyd adalah
para pemikir cerdas yang bersikap kritis dalam mencari hakikat hidup dan
pengertian-pengertian yang mungkin dapat dipahami oleh akal budi manusia. Hanya
saja memang, diantara keduanya terdapat kontroversi pemahaman. Perbedaan itu
adalah berupa cara mereka memahami hal-hal metafisik untuk mencapai pengertian-pengertian
yang bersifat adikodrati. Maksud Al Ghazali mengkritik pemikiran filsuf-filsuf
sebelumnya adalah demi mempertahankan kemurnian agama Islam. Ia mencoba
menunjukkan pada interpretasi teks dengan pertimbangan yang lebih gamblang.
Artinya, segala informasi yang terkandung dalam teks Al Qur’an itu sudah
sempurna, sudah bisa dipahami sebagai petunjuk hidup, dengan syarat mutlak
harus memiliki keimanan yang paripurna.
DAFTAR PUSTAKA
Bakker, JMW, Sejarah Filsafat Islam,
Yogyakarta Kanisius, 1978
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam,
Jakarta, Bulan Bintang, 1986
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat
Islam, Jakarta, Bulan Bintang 1969
Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Taqiq
Sulaiman Dunia, Mesir, Dar-al-Ma’arif 1968
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme
dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1973
Syarif, MM (edt), Para filosof
Muslim, ( terjemahan ), Bandung, Penerbit Mizan, 1985
0 komentar:
Posting Komentar