02.20

aliran filsafat islam


ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT, TOKOH, POLA PEMIKIRAN DAN AJARAN AL-GHAZALI DAN IBN RUSYD SERTA ANALISA POLEMIK KEDUANYA
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sejarah intelektual Islam kedua tokoh ini (Ibn Rusyd dan Al-Gazali) saling bersinggungan bahkan bertentangan mengenai pemikiraan. Pengkafiran yang terjadi di satu pihak, membuat perhatian penuh bagi para pengikutnya. Jawaban-jawaban pedas dilontarkan satu sama lain.
Al-Ghazali di pihak teologi mengkritik kerancuan para filosof bahkan pernyataan-pernyataan filosof dianggap mengeruhkan agama dan menjadikan seseorang menjadi kafir dalam pemikirannya. Ibn Rusyd dipihak yang dkritik menulis buku yang sangat terkenal atas sanggahan dan pengklaiman Ghazali dengan menulis buku berjudul kritik aras kritik. Penulisan ini bermaskud untuk mencoba menyibak kembali kedua tokoh tersebut dengan metodologi komparatif. Artinya kami mencoba mencari titik singgung persamaan pemikiran kedua tokoh tersebut, yang seolah-olah dalam rentang waktu yang panjang sekali dalam pemikiran Islam menjadi hal yang sangat berbeda dan bertentangan. Akibatnya asumsi-asumsi yang mengatakan bahwa mempelajari filsafat adalah kafir, sulit, membingungkan bahkan menyulitkan dapat dijawab dengan sangat kritis dan lugas, tidak berpihak dan menganggap paling benar.
Kedua tokoh ini mengajarkan kita bagaimana membangun wahana keislaman dengan bersikap kritis terhadap sebuah pemikiran. Namun sayangnya sikap kritis kedua tokoh ini dianggap oleh orang-orang setelahnya bukan hal yang penting dan disalah pahami.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Al – Ghazali
Al-Ghazali, nama lengkapnya adalah Abu hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali di lahirkan di Tusia di daerah Khurasan (Persia), pada pertengahan abad ke-5 Hijriyah tepatnya pada tahun 450 Hijriyah bertepatan dengan 1059 M. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa ia dilahirkan di Ghazalah, yang terletak di ujung Thus, sehingga dapat dikatakan ia memiliki darah Persia.[1]
Sementara tentang sejarah ibunya tidak banyak orang yang mengetahuinya, selain bahwa dia hidup hingga menyaksikan kehebatan anaknya di bidang ilmu pengetahuan dan melihat popularitasnya serta gelar tertinggi di bidang keilmuan.
Ayah Al-Ghazali adalah seorang tasawuf yang sholeh dan meninggal dunia ketika Al-Ghazali masih kecil. Ia seorang laki-laki miskin yang bekerja sebagai tukang tenun sutera. Sang ayah ingin sekali Al-Ghazali tumbuh di lingkungan yang Islami. Karena itu sebelum wafatnya ia menitipkan Al-Ghazali dan adiknya kepada seorang temannya yang sufi dan menyerahkan biaya hidup untuk mereka berdua. Sang sufi adalah seorang yang miskini. Karena itu ketika biaya hidupnya habis, maka ia menyerahkan keduanya ke salah satu sekolah yang didirikan oleh Nizham al-Mulk yang dapat menyediakan asrama dan biaya hidup bagi pelajar.[2]
Al-Ghazali memulai pendidikannya di wilayah kelahirannya Tus dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi ke Nisyafur dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota tersebut terkenal dengan pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam. Di kota Nisyafur inilah Al-Ghazali berguru kepada Imam al-Haramain Abi al-Ma’ali al-Juwainy, seorang ulama yang bermazhab Syafi’I yang pada saat itu menjadi guru besar di Nisyafur. [4] Diantara mata pelajaran yang dipelajari Al-Ghazali di kota tersebut adalah teologi, hukum Islam, falsafat, logika, sufisme dan ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya inilah yang kemudian mempengaruhi sikap dan pandangan ilmiahnya dikemudian hari.
Setelah itu Al-Ghazali berkunjung kepada Nidzam al-Mulk di kota Mu’askar, dan darinya ia mendapat kehormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu enam tahun lamanya. Pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamah Baghdad, dan pekerjaannya itu dilaksanakan dengan sangat berhasil sehingga banyak para penuntut ilmu dan pengagumnya berguru kepadanya.
Pada tahun 487 Hijriyah, khalifah al-Mustadhir meminta Ghazali untuk menanggapi pemikiran kaum Islamiyah, yang terkenal dengan al-Bathiniyah atau al-Ta’limiyah. Pada saat itu mereka merupakan kekuatan yang luar bisaa. Dan Al-Ghazali sampai menulis tiga buku untuk menanggapi pemikiran mereka.[3]
Setelah itu, Al-Ghazali mengalami krisis psikologi yang serius dan mematikan seluruh kegiatannya serta membuatnya meninggalkan kegiatan mengajarnya. Dalam bukunya al-Munqidz Min ad-Dhalal, Al-Ghazali menyatakan bahwa krisis psikologilah yang membuatnya meninggalkan kedudukannya di madrasah Nizhamiyah. Pekerjaan itu ditinggalkannya sekitar tahun 484 H, Untuk menuju Damsyik dan dikota ini ia merenung, membaca dan menulis selama kurang lebih 2 tahun, dengan tasawuf sebagai jalan hidupnya.
Kemudian ia pindah ke Palestina dan disinipun ia tetap merenung, membaca dan menulis dengan mengambil tempat di masjid Baitul Maqdis. Sesudah itu bergeraklah hatinya untuk menjalankan ibadah haji, dan setelah selesai pulang ke negeri kelahirannya sendiri yaitu kota Tus dan disana ia tetap seperti bisaanya, berkhalwat dan beribadah.
Karena desakan penguasa pada masanya, yaitu Muhammad, Al-Ghazali mau kembali mengajar di sekolah Nazamiyyah di Naisabur tahun 499 H. akan tetapi pekerjaan ini berlangsung 2 tahun, untuk akhirnya kembali ke kota Tus lagi, dimana ia kemudian mendirikan sebuah sekolah untuk para fuqaha dan sebuah biara (Khangak) untuk para mutasawwifin. Di kota itu pula ia meninggal dunia pada tahun 505 H/1111M, dalam usia 54 tahun.[4]
  1. Filsafat, Pola Pemikiran Dan Ajarannya Imam Al-Ghozali
Filsafat al-Ghazali dalam menolak pendapat filosof tentang bebarapa masalah. Pertama; masalah qadim-nya alam, bahwa tercipta dengan tidak bermula, tidak pernah tidak ada di masa lampau. Bagi al-Ghazali yang qadim hanyalah Tuhan. Selain Tuhan haruslah hadits (baru). Karena bila ada yang qadim selain Tuhan, dapat menimbulkan paham:
1. Banyaknya yang qadim atau banyaknya Tuhan; ini syirik dan dosa besar  yang tidak diampuni Tuhan; atau
2. Ateisme; alam yang qadim tidak perlu kepada pencipta.
Memang, antara kaum teolog dan filosof terdapat perbedaan tentang arti al-ihdats dan qadim. Bagi kaum teolog al-ihdats mengandung arti menciptakan dari “tiada” (creatio ex nihilo), sedang bagi kaum filosof berarti menciptakan dari “ada”. Kata Ibnu Rusyd, ‘adam (tiada) tidak akan bisa berubah menjadi wujud (ada). Yang terjadi adalah “wujud’ berubah menjadi “wujud” dalam bentuk lain. Oleh karena itu, materi asal, yang dari padanya alam disusun, mesti qadim. Dan materi.[5]
pertama yang qadim ini berasal dari Tuhan melalui al-faidh (pancaran). Tetapi menurut al-Ghazali, penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Oleh sebeb itu, alam pasti “baru” (hadits) dan diciptakan dari “tiada”. (al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, hal. 9 dan seterusnya). Dalam pemikiran al-Ghazali, sewaktu Tuhan menciptakan alam, yang ada hanyalah Tuhan. Disinilah Sulaiman Dunianya mencacat al-Ghazali sebagai baina al-falasifah wa al-mutakallimin, karena secara substansial al-Ghazali berfikir sebagai teolog, tetapi secara instrumental berfikir sebagai filosof. Tetapi, karena itu juga, di lain pihak justru al-Ghazali dinilai “kacau” cara berfikirnya oleh Ibn Rusyd (Tahafut al-Tahafut). Apalagi tampak jelas kekacauan al-Ghazali itu, kata Ibnu Rusyd, ketika berbicara tentang kebangkitan jasmani yang terlihat paradoksal antara al-Ghazali sebagai teolog dan filosof dan sebagai sufi.[6]
Kedua, mengenai Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat. Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa pertentangan antara al-Ghazali dan para filosof tentang hal ini timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Jelas bahwa kekhususan (juz`iyyat) diketahui manusia melalui panca indera, sedangkan keumuman (kulliyah) melalui akal. (Baca Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, ed. Sulaiman Dunya, Cairo, Dar al-Maarif, 1964, hal. 711). Penjelasan Ibnu Rusyd selanjutnya: Tuhan bersifat immateri yang karenanya tidak terdapat panca indera bagi Tuhan untuk pengetahuan juz`iyyat. Selanjutnya, pengetahuan Tuhan bersifat qadim, sedang pengetahuan manusia bersifat baru. Pengetahuan Tuhan adalah sebab, sedang pengetahuan manusia tentang kekhususan adalah akibat. Kaum filosof, kata Ibnu Rusyd, tidak mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan tentang alam bersifat juz`i atau pun kulli. (Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, hal. 702-703). Begitulah tanggapan Ibnu Rusyd untuk menanggapi pendapat al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah itu.[7]
Ketiga, tentang kebangkitan jasmani. Kritik al-Ghazali bahwa para filosof tidak percaya adanya kebangkitan jasmani, menurut Ibnu Rusyd salah sasaran. Yang benar, kata Ibnu Rusyd, bahwa para filosof tidak menyebut-nyebut hal itu. Ada tulisan mereka yang menjelaskan tidak adanya kebangkitan jasmani dan ada pula yang sebaliknya. (Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, hal. 873-874).
Di pihak lain, Ibnu Rusyd menuduh bahwa apa yang ditulis al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah bertentangan dengan apa yang ditulisnya mengenai tasawwuf. Dalam buku pertama (hal. 28, dst) semua orang Islam menyakini kebangkitan jasmani. Sedang dalam buku kedua ia mengatakan, pendapat kaum sufi yang ada nanti ialah kebangkitan rohani dan bukan kebangkitan jasmani tidak dapat dikafirkan (Baca Ibnu Rusyd, Fash al-Maqal, hal. 16-17). Padahal al-Ghazali mendasarkan pengkafirannya kepada ijma’ ulama.
Tiga pemikiran itulah yang menjadi bahasan utama al-Ghazali dalam kitabnya Tahfut al-Falasifah, dan selanjutnya ia mengkafirkan para filosof lantaran pendapat mereka tentang tiga hal tersebut berbeda dengan pemikirannya. Tindakan pengkafiran inilah yang dianggap mempengaruhi dan membuat orang Islam enggan bahkan takut mempelajari filsafat, dus menjadi biang kemunduran pemikiran di kalangan umat Islam.
AjaranTasawuf-Al-Ghazali di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya :
a. Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.
b. PandanganAl-Ghazalitentang-As-As’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah) di dalam kitab Kimiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata terletak pada ketika melihat gambar yang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara merdu.
  1. Biografi Ibnu Rusyd
Abul Wali Muhammad bin Ahmad bin Rusyd lahir di Cordova tahun 520 H. Ia berasal dari keluarga besar yang terkenal dengan keutamaannya dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia, Spanyol. Ayahnya adalah seorang hakim dan neneknya yang terkenal dengan sebutan Ibnu Rusyd -Nenek- (ad-Djadd) adalah kepala hakim di Cordova.
Pada mulanya Ibnu Rusyd mendapat kedudukan yang baik dari Khalifah Abu Yusuf al-Mansur (masa kekuasaannya 1184-1194 M), sehingga pada waktu itu Ibnu Rusyd menjadi raja semua pikiran, tidak ada pendapat kecuali pendapatnya, dan tidak ada kata-kata kecuali kata-katanya. Akan tetapi, keadaan tersebut segera berubah karena ia di-persona non grata-kan oleh al-Manshur dan dikurung di suatu kampung Yahudi bersama Alisanah sebagai akibat fitnahan dan tuduhan telah keluar dari Islam yang dilancarkan oleh golongan penentang filsafat, yaitu para fuqaha masanya.
Setelah beberapa orang terkemuka dapat meyakinkan al-Manshur tentang kebersihan diri Ibnu Rusyd dari fitnahan dan tuduhan tersebut, baru ia dibebaskan. Akan tetapi, tidak lama kemudian fitnahan dan tuduhan dilemparkan lagi pada dirinya, dan termakan pula. Sebagai akibatnya, kali ini ia diasingkan ke Negeri Maghribi (Maroko), buku-buku karangannya dibakar dan ilmu filsafat tidak boleh lagi dipelajari. Sejak saat itu murid-muridnya bubar dan tidak berani lagi menyebut-nyebut namanya.
Ibnu Rusyd (1126-1198) lahir di Cordova lidah barat menyebutnya Averroes yang nama lengkapnya adalah Abdul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd adalah seorang ahli hukum, ilmu hisab (arithmatic), kedokteran, dan ahli filsafat terbesar dalam sejarah Islam dimana ia sempat berguru kepada Ibnu Zuhr, Ibn Thufail, dan Abu Ja’far Harun dari Truxillo. Pada tahun 1169 Ibn Rusyd dilantik sebagai hakim di Sevilla, pada tahun 1171 dilantik menjadi hakim di Cordova. Karena kepiawaiannya dalam bidang kedokteran Ibnu Rusyd diangkat menjadi dokter istana tahun 1182.
Karya besar yang di tulis oleh Ibnu Rusyd adalah Kitab Kuliyah fith-Thibb (Encyclopaedia of Medicine) yang terdiri dari 16 jilid, yang pernah di terjemahkan kedalam bahasa Latin pada tahun 1255 oleh seorang Yahudi bernama Bonacosa, kemudian buku ini diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan nama “General Rules of Medicine” sebuah buku wajib di universitas-universitas di Eropa. Karya lainnya Mabadil Falsafah (pengantar ilmu falsafah), Taslul, Kasyful Adillah, Tahafatul Tahafut, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Tafsir Urjuza (menguraikan tentang pengobatan dan ilmu kalam), sedangkan dalam bidang musik Ibnu Rusyd telah menulis buku yang berjudul “De Anima Aristotles” (Commentary on the Aristotles De Animo). Ibnu Rusyd telah berhasil menterjemahan buku-buku karya Aristoteles (384-322 SM) sehingga beliau dijuluki sebagai asy-Syarih (comentator) berkat Ibnu Rusyd-lah karya-karya Aristoteles dunia dapat menikmatinya. Selain itu beliaupun mengomentari buku-buku Plato (429-347 SM), Nicolaus, Al-Farabi (874-950), dan Ibnu Sina (980-1037).
Ibnu Rusyd seorang yang cerdas dan berfikiran kedepan sempat dituduh sebagai orang Yahudi karena pemikiran-pemikirannya sehingga beliau di asingkan ke Lucena dan sebagian karyanya dimusnahkan. Doktrin Averoism mampu pengaruhi Yahudi dan Kristen, baik barat maupun timur, seperti halnya pengaruhi Maimonides, Voltiare dan Jean Jaques Rousseau, maka boleh dikatakan bahwa Eropah seharusnya berhutang budi pada Ibnu Rusyd.

  1. Filsafat, Pola Pemikiran dan Ajarannya Ibnu Rusyd
  1. Agama dan Filsafat
Masalah agama dan falsafah atau wahyu dan akal adalah bukan hal yang baru dalam pemikiran islam, hasil pemikiran pemikiran islam tentang hal ini tidak diterima begitu saja oleh sebagian sarjana dan ulama islam. Telah tersebut diatas tentang reaksi Al-Ghazali terhadap pemikiran mereka seraya menyatakan jenis-jenis kekeliruan yang diantaranya dapat digolongkan sebagai pemikiran sesat dan kufur.
Dalam ajaran-ajaran Ibn Rusyd terhadap reaksi dan sanggahan tersebut Ibnu Rusyd tampil membela keabsahan pemikiran yang membenarkan kesesuain ajaran agama dengan pemikiran falsafah. Ia menjawab semua keberatan imam Ghazali dengan argumen-argumen yang tidak kalah dari al-Ghazali sebelumya.
Menurut Ibnu Rusyd, Syara’ tidak bertentangan bertentangan dengan filsafat, karena fisafat itu pada hakikatnya tidak lebih dari bernalar tentang alam empiris ini sebagai dalil adanya pencipta. Dalam hal ini syara’pun telah mewajibkan orang untuk mempergunakan akalnya, seperti yang jelas dalam irman Allah : “Apakah mereka tidak memikirkan (bernalar)tentang kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah.” (Al-Araf: 185) dan firman Allah suiarah Al-Hasyr: 2 yang artinya: “Hendaklah kamu mengambil Itibar (ibarat) wahai orang-orang yang berakal”. Bernalar dan ber’itibar hanya dapat dimungkinkan dengan menggunakan kias akali, karena yang dimaksud dengan I’tibar itui tiadak lain dari mengambil sesuatu yang belum diktahui dari apa yang belum diketahui.
Qyas akali merupakan suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan. Setiap pemikir wajib mempelajari kaidah-kaidah kias dn dalil serta mempelajari ilmu logika dan falsafah. Bernalar dengan kaidah yang benar akan membawa kepada kebenaran yang diajarkan agama, karena kebenaran tidak saling bertentangan, tapi saling sesuai dan menunjang.
Seperangkat ajaran yang disebut dalam al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sesuatu yang pada lahirnya berbeda dengan filsafat, sehingga difahami bahwa filsafat itu bertentangan dengan agama. Dalam hal ini Ibnu Rusyd menjawab dengan konsep takwil yang lazim digunakan dalam masalah-masalah seperti ini.
Dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang harus difahami menurut lahirnya, tidak boleh dita’wilkan dan ada juga yang harus dita’wilakan dari pengertian lahiriah.
Adapun jika keterangan lahiriahnya sesuai dengan keterangan filsafat, ia wajib diterima menurut adanya. Dan jika tidak, ia harus dita’wilkan. Namun ta’wil itu sendiri tidak sembarang orang dapat melakukannya atau disampaikan kepada siapa saja. Yang dapat melakukan ta’wil itu adalah para filosof atau sebagian mereka, yakni orang-orang yang telah mantap dalam memahami ilmu pengetahuan. Adapun penyampaian ta’wil itu dibatasi pada orang-orang yang sudah yakin, tidak kepada selain mereka yang ampang menjadi kufur.
Agama islam kata Ibn Rusyd tidak mengandung dalam ajarannya hal-hal yang bersifat rahasia, seperti ajaran trinitas dalam agama Kristen. Semua ajarannya dapat dipahami akal karena akal dapat mengetahui segala yang ada. Dari itu, iman dan pengetahuan akali merupakan kesatuan yang tidak bertentangan, karena kebenaran itu, pada hakikatnya adalah satu.
Akan tetapi, dalam agama ada ajaran tentang hal-hal yang ghaib seperti malikat, kebangkitan jasad, sifat-sifat surga dan neraka dan lain-lain sebagainya yang tidak dapat diapahami akal, maka hal-hal yang seperti itu kata Ibn Rusyd merupakan lambing atau simbolm bagi hakikat akali. Dalam hal ini, ia menyetujui pendapat imam al-Ghazali yang mengatakan, wajib kembali kepada petunjuk-petunjuk agama dalam hal-hal yang tidak mampu akal memahaminya.
  1. Metafisika
a.       Dalil wujud Allah
Dalam membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang pernah dkemukakan oleh beberapa golongan sebelumnya karena tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Syara’, baik dalam berbagai ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam berbagai ayatnya, dank arena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang –orang khusus yang terpelajar.
b.      Dalil ‘inayah (pemeliharan)
Dalil ini berpijak pada tujuan segala sesuatu dalam kaitan dengan manusi. Artinya segala yang ada ini dijadikan untuk tujuan kelangsungan manusia. Pertama segala yang ada ini sesuai dengan wujud manusia. Dan kedua, kesesuaian ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang sengaj diciptakan demikian oleh sang pencipta bijaksana.
c.       Dalil Ikhtira’ (penciptaan)
Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala makhluk ini, seperti ciptaan pada kehidupan benda mati dan berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Menurut Ibn Rusyd, kita mengamati benda mati lalu terjadi kehidupan padanya,sehingga yakin adanya Allah yang menciptakannya. Demikian juga berbagai bintang dan falak di angkasa tundujk seluruhnya kepada ketentuannya. Karena itu siapa saja yang ingin mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib mengetahui hakikat segala sesuatu di alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua realitas ini.
d.      Dalil Gerak.
Dalil ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd memandangnya sebagi dalil yang meyakinkan tentang adanya Allah seperti yang digunakan oleh Aristoteles sebelumnya. Dalil ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam suatu keadaan, tetapi selalu berubah-ubah. Dan semua jenis gerak berakhir pada gerak pada ruang, dan gerak pada ruang berakhir pada yang bergerak pad dzatnya dengan sebab penggerak pertama yang tidak bergerak sama sekali, baik pada dzatnya maupun pada sifatnya.
Akan tetapi, Ibn Rusyd juga berakhir pada kesimpulan yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa gerak itu qadim.
e.       Sifat-sifat Allah.
Adapun pemikiran Ibn Rusyd tentang sifat-sifat Allah berpijak pada perbedaan alam gaib dan alam realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd mengatakan, orang harus menggunakan dua cara: tasybih dan tanzih (penyamaan dan pengkudusan). Berpijak pada dasar keharusan pembedaan Allah dengan manusia, maka tidak logis memperbandingkan dua jenis ilmu itu.


  1. Fisika
a.       Materi dan forma
Seperti dalam halnya metafisika, ibnu rusyd juga di juga di pengaruhi oleh Aristoteles dalam fisika. Dalam reori Aristoteles, ilmu fisika membahas yang ada (maujud) yang mengalami perubahan seperti gerak dan diam. Dari dasarnya itu, ilmu fisika adalah materi dan forma.
Menurut Ibn Rusyd, bahwa segala sesuatu yang berada di bawah alam falk terdiri atas materi dan forma. Materi adalah sesuatu yang darinya ia ada, sedangkan forma adalah sesuatu yang dengannya ia menjadi ada setelah tidak ada.
b.      Sifat-sifat jisim.
Adapun sifat-sifat jisim ada empat macam, yaitu:
Ø Gerak
Ø Diam
Ø Zaman
Ø Ruang
c.       Bangunan alam.
Para filosof klasik mengatakan, bahwa bentuk bundar adalah yang paling sempurna, sehingga gerak melingkar merupakan gerak yang paling Afdol. Gerak inilah yang kekal lagi azali. Dengan sebab gerak ini, maka jisim-jisim samawi memiliki bentuk bundar. Karena jisim-jisim ini bergerak melingkar, maka alam semesta ini merupakan sesuatu planit yang bergerak melingkar.Dan planit ini hanya satu saja, sehingga tidak ada kekosongan. Demikianlah alam falak itu saling mengisi.
Jadi alam ini terdiri dari jisim-jisim samawi yang tunggal dan benda-benda bumi yang terdiri dari percampuran emoat anasir melalui falak-falak. Dari percampuran ini timbulah benda-benda padat, tumbuhan hewan, dan akhirnya manusia.
  1. Manusia
Dalam masalah manusia, Ibn Rusyd juga dipengaruhi oleh teori Aristoteles. Sebagi bagian dari alam, manusia terdiri dari dua unsure materi dan forma.. jasad adalah materi dan jiwa adalah forma. Seperti halnya Aristoteles, Ibnu Rusyd membuat definisi jiwa sebagai “kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis.” Jiwa disebut sebagai kesempurnaan awal untuk membedakan dengan kesempurnaan lain yangmerupakan pelengkap darinya, seperti yang terdapat pada berbagai perbuatan. Sedangkan disebut organis untuk menunjukan kepada jisim yang terdiri dari anggota-anggota. Untuk menjelaskan kesempurnaan jiwa tersebut, Ibnu Rusyd mengkaji jenis-jenis jiwa yang menurutnya ada lima:
· Jiwa Nabati
· Jiwa perasa
· Jiwa khayal
· Jiwa berfikir
· Jiwa kecendrungan


  1. Kenabian dan Mu’jizat
Allah menyampaikan wahyu kepada umat manusia melalui rasulnya. Dan sebagai bukti bahwa orang itu Rasul Allah, ia harus membawa tanda yang berasal darinya, dan tanda ini disebut mukjizat. Pada seorang rasul, mukzizat itu meliputi dua hal yang berhubungan dengan ilmu dan yang berhubungan dengan amal. Dalam hal yang pertama, rasul itu memberitahukan jenis-jenis ilmu dan berbagai amal perbuatan yang tidak lazim diketahui oleh manusia. Suatu hal yang diluar kebiasaan pengetahuan manusia, sehingga ia tidak dapat mengetahuinya adalah bukti bahwa orang yang membawanya adalah rasul yang menerima wahyu dari Allah, bukan dari dirinya.
Ringkasnya Ibnu Rusyd membedakan dua jenis mukjizat: mukjizat ekstern yang tidak sejalan dengan sifat dan tugas kerasulan, seperti menyembuhkan penyakit, membelah bulan dan sebagainya. Dan mukjizat intern yang sejalan dangan sifat dan tugas kerasulan yang membawa syariat untuk kebahagiaan umat manuisia. Mukjizat yangpertama yang berfungsi sebagai penguat sebagai kerasulan. Sedangkan yang kedua sebagai bukti yang kuat tentang kerasulan yang hakiki dan merupakan jalan keimanan bagi para ulama dan orang awamsesuai dengan kesanggupan akal masing-masing.
  1. Politik dan Akhlak
Seperti yang telah disebut oleh plato, Ibnu Rusyd mengatkan, sebagai makhluk social, manusia perlu kepada pemerintah yang didasarkan kepada kerakyatan. Sedangkan kepala pemerintah dipegang oleh orang yang telah menghabiskan sebagian umurnya dalam dunia filsafat, dimana ia telah mencapai tingkat tinggi . pemerintahan islam pada awalnya menurut Ibnu rusyd adalah sangat sesuai dengan teorinya tentang revublik utama, sehingga ia mengecam khalifah muawwiyah yang mengalihkan pemerintahan menjadi otoriter.[8]
Dalam pelaksanaan kekuasaan hendaknya selalu berpijak pada keadilan yang merupakan sendinya yang esensial. Hal ini karena adil itu adalah produk ma;rifat, sedangkan kezaliman adalah produk kejahilan.
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa dalam Negara utama orang tidak memerlukan lagi kepada hakim dan dokter karena segala sesuatu berjalan secara seimbang, tidak lebih dan tidak berrkurang.hal ini karena keutamaan itu sendiri mengandung dalam dirinya keharusan menghormati hak orang lain dan melakukan kewajiban.
Khusus tentang wanita , Ibnu rusyd sangat membela kedudukannya yang sangat penting dalam Negara. Pada hakikatnya, anita tidak berbeda dengan pria pada watak dan daya kekuatan. Dan jikapun ada, maka itu hanya ada pada kuantitas daya dan pada beberapa bidang saja. Dan jika dalam kerja, ia dibawa tingkat pria, tetapi iamelebihinya dalam bidang seni, seperti music. Menurut Ibnu Rusyd, masyarakat islam tidak akan maju, selama tidak membebaskan wanita dari berbagai ikatan dan kekangan yang membelenggu kebebasannya.

E.  Polemik dan Analisa Antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd Dalam Perbedaan Aliran dan Pemikiran Filsafat dan Implikasinya Bagi Hukum Islam Modern.
Alam pikir al-Ghazali Polemik ini dimulai dari karya Imam al-Ghazali yang berjudul Thafut al-Falasifah yang antara lain memuat berbagai dalil dan argument yang menyatakan bahwa teori dan pemikiran para filosof Islam, terutama Ibn Sina, mengenai soal ketuhanan dan hal-hal yang metafisis tidak memuaskan, malah ada diantaranya yang bertentangan dengan ajaran Islam. Hal yang bertentangan dengan dasar agama Islam ada tiga, sehingga ia menuduh Ibn Sina sebagai orang kafir . Yaitu : 1. Alam tak bermula, 2. Tuhan tidak mengetahui perincian di alam dan 3. Pembangkitan jasmani tidak ada. Tentang alam Aristoteles juga mengatakan bahwa alam ini qadim dalam arti tidak ada awalnya. Pendapat ini juga dianut oleh para filosof ternama di kalangan pemikir Islam, seperti al-Farabi dan Ibn Sina sebagaimana telah disebutkan diatas. Hal ini menurut al-Ghazali bertentangan dengan ajaran agama yang dengan tegas mengatakan bahwa alam ini baru, dijadikan oleh Allah dari tidak ada serta dalam zaman tertentu . Dalam al-Qur’an dengan jelas disebutkan bahwa Tuhan adalah Pencipta dari segala-gala sesuatu. Dan menurut al-Ghazali selanjutnya, tidak ada seorangpun dari orang Islam yang menganut paham bahwa alam tidak bermula.[9]
Alam pikir Ibn Rusyd Dari pendapat diatas Ibn Rusyd dalam kedudukannya sebagai filosof yang bertujuan mencari kebenaran, lewat penafsirannya terhadap al-Qur’an secara rasional telah menawarkan keselarasan antara agama dan filsafat serta tentang ketidakbermulaannya alam itu. Ibn Rusyd menjelaskan, bahwa pendapat kaum teolog tentang dijadikannya alam dari tiada (creation ex-nihilo) itu tidak berdasar pada argument syariat yang kuat, karena tidak ada ayat-ayat yang mengatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, lalu Ia menjadikan alam. Pendapat bahwa pada mulanya yang ada hanya wujud Tuhan, menurut Ibn Rusyd, hanyalah merupakan interprestasi kaum teolog semata, karena ayat-ayat al-Qur’an mengatakan bahwa alam ini dijadikan bukan dari tiada, tapi dari sesuatu yang ada. Dari ayat 7 surat Hud yang artinya: dan Ia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan takhta-Nya (pada waktu itu) berada di atas air, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebelum adanya wujud langit dan bumi telah ada wujud yang lain, yaitu air yang diatasnya terdapat takhta kekuasaan Tuhan. Tegasnya sebelum langit dan bumi diciptakan Tuhan telah ada air dan takhta. Dan dari ayat 11 surat Fushilat yang artinya: kemudian Ia-pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap. Dapat dipahami bahwa sebelum ala mini diciptakan telah ada benda-benda lain yaitu air dan uap. Menurut Ibn Rusyd, benda-benda itulah yang merupakan cikal bakal terjadinya alam, jadi alam dalam unsurnya adalah kekal dari sejak zaman lampau atau qadim.
Antara Al Ghazali dengan Ibnu Rusyd mencerminkan munculnya pemikiran filosofis yang cukup serius dan berpengaruh luar biasa terhadap pemahaman manusia mengenai pandangannya terhadap konsep ketuhanan dan alam semesta, yang sebenarnya jika dikaji lebih kritis, juga merupakan ‘pukulan telak’ bagi seluruh umat Islam. Umat Islam dituntut memahami dan meningkatkan kemurnian keimanan, dalam usaha memecahkan banyaknya misteri kehidupan yang tidak dijelaskan secara gamblang dalam teks Al Qur’an ataupun Al Hadits.
Al Ghazali dan Ibnu Rusyd adalah para pemikir cerdas yang bersikap kritis dalam mencari hakikat hidup dan pengertian-pengertian yang mungkin dapat dipahami oleh akal budi manusia. Hanya saja memang, diantara keduanya terdapat kontroversi pemahaman. Perbedaan itu adalah berupa cara mereka memahami hal-hal metafisik untuk mencapai pengertian-pengertian yang bersifat adikodrati. Maksud Al Ghazali mengkritik pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya adalah demi mempertahankan kemurnian agama Islam. Ia mencoba menunjukkan pada interpretasi teks dengan pertimbangan yang lebih gamblang. Artinya, segala informasi yang terkandung dalam teks Al Qur’an itu sudah sempurna, sudah bisa dipahami sebagai petunjuk hidup, dengan syarat mutlak harus memiliki keimanan yang paripurna.
Berbeda dengan Al ghazali, Ibnu Rusyd bermaksud mengadakan kompromi antara filsafat dan agama yang sepintas terlihat saling berlawanan satu sama lain. Ibnu Rusyd berusaha menjelaskan teori metafisika spekulatif para filsuf sebelumnya, juga menambahkan argument pribadinya, dalam menginterpretasi firman Tuhan. Ia mencoba menjelaskan kemungkinan-kemungkinan tentang sifat-sifat Tuhan dan alam ciptaanya menggunakan akal.
Biarpun diantara keduanya terdapat pertentangan dalam hal yang paling mendasar mengenai problem ketuhanan dan alam semesta, namun keduanya sama-sama memberikan kontribusi dan pelajaran berharga yang mampu diambil hikmahnya oleh manusia, baik sebagai muslim maupun bukan. Sintesa dari perdebatan mereka mengajarkan pada pentingnya menggunakan akal yang disertai keimanan yang kuat, dalam memahami masalah-masalah rumit yang metafisis spekulatif sepertihalnya problem ketuhanan dan alam semesta serta hokum islam modern.
KESIMPULAN
Antara Al Ghazali dengan Ibnu Rusyd mencerminkan munculnya pemikiran filosofis yang cukup serius dan berpengaruh luar biasa terhadap pemahaman manusia mengenai pandangannya terhadap konsep ketuhanan dan alam semesta, yang sebenarnya jika dikaji lebih kritis, juga merupakan ‘pukulan telak’ bagi seluruh umat Islam. Umat Islam dituntut memahami dan meningkatkan kemurnian keimanan, dalam usaha memecahkan banyaknya misteri kehidupan yang tidak dijelaskan secara gamblang dalam teks Al Qur’an ataupun Al Hadits.
Al Ghazali dan Ibnu Rusyd adalah para pemikir cerdas yang bersikap kritis dalam mencari hakikat hidup dan pengertian-pengertian yang mungkin dapat dipahami oleh akal budi manusia. Hanya saja memang, diantara keduanya terdapat kontroversi pemahaman. Perbedaan itu adalah berupa cara mereka memahami hal-hal metafisik untuk mencapai pengertian-pengertian yang bersifat adikodrati. Maksud Al Ghazali mengkritik pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya adalah demi mempertahankan kemurnian agama Islam. Ia mencoba menunjukkan pada interpretasi teks dengan pertimbangan yang lebih gamblang. Artinya, segala informasi yang terkandung dalam teks Al Qur’an itu sudah sempurna, sudah bisa dipahami sebagai petunjuk hidup, dengan syarat mutlak harus memiliki keimanan yang paripurna.
DAFTAR PUSTAKA
Bakker, JMW, Sejarah Filsafat Islam, Yogyakarta Kanisius, 1978
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang 1969
Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Taqiq Sulaiman Dunia, Mesir, Dar-al-Ma’arif 1968
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1973
Syarif, MM (edt), Para filosof Muslim, ( terjemahan ), Bandung, Penerbit Mizan, 1985